Oleh Timoteus Marten, Redaktur, Tabloid Jubi, Jayapura, dengan penugasan ke Kalimantan Selatan
(Catatan penulis: “Saya sangat berterimakasih kepada LPDS yang memilih saya sebagai salah satu peserta lokakarya liputan daerah ketiga selama sepuluh hari.Bagi saya ini adalah kesempatan yang sangat berharga, karena selain mendapat ilmu, mengasah profesionalisme, dan ‘ditantang’ di daerah baru, persaudaraan dan keakraban sangat terasa. Bahkan sepuluh hari terasa sangat singkat untuk sebuah proses belajar yang disebut ‘belajar sambil bekerja’ dan bekerja sambil belajar, serta sebuah persaudaraan dalam aneka wajah dan karakter. Dengan kekhasan masing-masing, mentor membagikan ilmu dan pengalamannya kepada kami, sehingga dapat menyimak tiap materi yang didiskusikan. Pak Priyambodo dengan khas humornya, Pak Warief dengan ketenangannya, dan Pak Maskun dengan gaya celetuknya. Hehehe.., kamus berjalan ini. Di antara kami peserta juga saling mengenal satu sama lain. Tentu dengan kekhasan masing-masing. Semoga ilmu dan pengalaman yang didapat dari LPDS senantiasa membuahkan hasil, terutama menjadikan saya sebagai jurnalis yang selalu mengkampanyekan soal perubahan iklim dan memiliki perspektif gender.”)
Kabut tebal menyelimuti bandara Syamsoedin Noor, Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel), pertengahan Februari 2014. Disusul hujan lebat.
“Anu Bang! Akhir-akhir ini cuaca tak menentu. Ini iklim berubahlah, barangkali,” kata Agus, sopir taksi warga Banjarmasin.
Alam tak lagi bersahabat. Ujung selatan Pulau Kalimantan ini basah menjelang malam.
Dengan dialek Banjar berpadu khas Makassar, Agus bercerita panjang lebar tentang cuaca di ibu kota Provinsi Kalsel itu.
Menurut dia, perubahan cuaca sangat kentara beberapa tahun terakhir ini. Setidaknya dengan adanya pergantian musim panas dan hujan yang tak menentu. Kalsel berada dekat garis khatulistiwa dan memiliki dua musim, musim penghujan pada Oktober hingga Mei dan kemarau pada Juni hingga Agustus.
Banjir kerap melanda Banjarmasin dan kini tak bisa diprediksi lagi. Daerah berawa ini dengan ketinggian sekitar 0,16 meter di bawah permukaan laut dan dialiri banyak sungai, dijuluki “Kota Seribu Sungai”.
Banjarmasin hanya seluas 72 km2 dari 37.530,52 km2 luas provinsi itu atau kurang lebih 1/500. Kalsel punya sebelas kabupaten hingga 2004 dengan penambahan dua kabupaten pada 2005.
Koko Indarto, Ketua Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, menuturkan belakangan ini sangat panas. Gersang. Cuaca ekstrem dan musim yang tak menentu. Selain itu, adanya genangan air dan banjir di beberapa titik sebagai akibat dari perambahan hutan.
“Kabupaten Tabalong, di kawasan setelah hotel Aston, di situ bundaran obor gas, di situ debunya minta ampun. Dan sekarang panas terasa sekali. Padahal dulu sejuk dan banyak pohon rindang,” kata Koko di kompleks kampus Unlam. “Hujan sehari pun banjir,” lanjutnya.
Perubahan cuaca tersebut diakibatkan hilangnya hutan, karena pertambangan batu bara di wilayah itu. Meski dalam skala kecil, menurut dia, dampak tersebut merupakan bencana yang melanda warga Kalsel.
Akademisi Unlam, Sutarto Hadi, mengaku sudah bekerja sama dengan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) dalam mengkaji soal lingkungan.
Ia menyebutkan maraknya pembalakan kayu, penambangan liar atau penambangan tanpa ijin (PETI), dan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan, khususnya di Kalimantan Selatan.
Disebutkan data yang diperoleh dari Kementerian Kehutanan terdapat kurang lebih 1.236 penambangan liar dan 537 perkebunan sawit ilegal di Kalimantan.
Di hutan Kalimantan Selatan terdapat fauna yang merupakan satwa langka seperti bekantan (Nasalis larvatus), kera abu-abu (Maccaca iIrrus), elang (Butatstur sp), beruang madu (Hylarotis malayanus), kijang pelaihari (Muntiacus salvator), owa-owa (Hylobatus mulleri), cabakak (Hakyan chalaris) dan elang raja udang (Palargapais carpusis).
Selain itu, ada rusa sambar (Cervus unicular), biawak (Varanus spesi), kuau (Argusianus argus), dan pecuk ular (Prebytus rubicusida).
Maka, diprediksi hilangnya kawasan hutan mengakibatkan hilangnya satwa langka. Lebih dari itu, kerusakan lingkungan berdampak pada curah hujan yang tak menentu.
Perusahaan besar, menurut Sutarto Hadi, masih melakukan reklamasi. Sementara tambang liar, walau kecil sangat banyak dan selalu berganti. Mereka pergi begitu saja dan berganti ke tempat baru. Di sisi lain, juga tidak adanya penegakan hukum di provinsi ini. Ia mensinyalir ada yang melindungi penambang liar.
“Kalau ini terus dibiarkan, sepuluh tahun ke depan lingkungan kita hancur. Sekarang pun kita sudah merasakan, perubahan iklim, hujan tak menentu, banjir, air sungai keruh sejak beberapa tahun terakhir,” katanya.
Selain itu, menurut dia, pengalihan fungsi lahan, seperti pembukaan lahan kelapa sawit secara masif juga terus terjadi. Namun, ia tak menyebutkan jumlah lahan untuk alih fungsi hutan ke lahan kelapa sawit tersebut.
Praktisi hukum Dr. Nirmala Sari dalam diskusi dengan Lemhannas beberapa waktu lalu menyebutkan sengketa lahan atau masalah lingkungan kerap dipicu persoalan di luar hukum.
Aspek hukum tidak bisa ditegakkan karena masalah-masalah di luar hukum. Dikhawatirkan masalah kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di daerah ini tidak bisa menemukan jalan keluar karena ada kesepakatan di luar ranah hukum.
Selain bekerja sama dengan Lemhannas. Unlam juga melakukan kerja sama dengan beberapa negara seperti Jepang dan Filipina untuk reklamasi. Alhasil, dilakukan beberapa kali seminar.
Karena itu, menurut Hadi, selayaknya hutan jangan dijarah. Jangan seenaknya dibabat. Kalaupun pemerintah masih ngotot, model penambangan jangan di permukaan.
“Harus menggunakan cara ramah lingkungan, misalnya penambangan bawah tanah. Jangan merusak hutan,” pinta dia.
Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Kalsel, Kustono Widodo, mengatakan di Kalimantan Selatan belum bisa diterapkan pertambangan bawah tanah karena belum memungkinkan. Namun, pihaknya bekerja sama dengan Jepang dan Unlam untuk mengkaji.
Soal penambangan, kurang lebih 845 perusahaan terdata. Itu di luar PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara).
Menurut dia, semua perizinan tak diketahuinya dikeluarkan kabupaten. Artinya, ada ijin pertambangan yang dikeluarkan pemerintah kabupaten tetapi tak diketahui dinas pertambangan provinsi Kalsel.
Ada dua kabupaten yang sedang ramai dengan pertambangan liar, seperti Kabupaten Tana Laut dan Tana Bubu.
“Kami sudah bekerja sama dengan Polda untuk melakukan penindakan. Namun, setelah pengamanan mereka masuk lagi. Kapolda bingung juga,” ujarnya.
Karena itu, pihaknya berupaya mencari aktor di balik penambangan liar itu. Ia mengaku jika sedang merevisi peraturan daerah yang belum diberi nomor karena harus disesuaikan dengan Undang-Undang nomor 4 tahun 2009 TENTANG Pertambangan Mineral dan Batubara.
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalsel melakukan advokasi bagi warga korban penambangan liar sejak 1999. Terutama suku Meratus, pemilik lahan.
“Kebanyakan dikapling oleh pengusaha besar. Tana Bubu dan Kota Baru. Pembiaran oleh perusahaan besar. Penambang ilegal pakai preman. Itu sengaja dibiarkan dengan negosiasi bayar antara perusahaan dan oknum,” kata Dwito Septiandy, Ketua WALHI Kalsel.
“Tahun 2005 kami minta Polda Kalsel segera selesaikan illegal mining ini, tetapi tak up to date,” ujar Andy, sapaan dia.
Toh penambang liar masih beroperasi di Kalimantan Selatan. (*)
Published in