Muhamad Usman
Wartawan KabarJambi.net di Kota Jambi, peserta MDK III Agustus 2015 dengan penugasan ke Papua Barat
Dance Ullo turun dari sebuah pohon. Nafasnya terengah. Lelaki 45 tahun itu baru saja memotong dahan dan ranting pepohonan di lahan kebunnya. Bersama istri, Margaretha Wonggor, pria yang memiliki empat anak tersebut tengah menyiapkan lahannya untuk ditanami.
“Kami menunggu pohon uheyeceu, bipi, cipcai, dan ngkam berbunga.Saat pohon itu berbunga, kami mulai menanam.Tapi,beberapa tahunter akhir, pohon berbunga dengan waktu tidak teratur,” ujar Dance Ullo.
Pohon uheyeceu, bipi, cipcai,dan ngkam dipercaya Suku Arfak menjadi penanda musim. Ketika dedaunan pohon tersebut berguguran, orang Arfak mulai menyiapkan lahannya. Pohon mulai berbunga mengartikan kebun harus segera ditanami.
Empatpohon penanda musim ini tumbuh di Gunung Sordobei di tengah Pegunungan Arfak. “Karena pohon itu terlambat berbunga, kami sering terlambat untuk mulai menanam ubi dan sayur-sayuran,” ujar Dance.
Dance Ullo berkebun di Kampung Anggra, Kabupaten Pegunungan Arfak, Papua Barat. Kampung ini di selatan Kota Manokwari, ibukota Provinsi Papua Barat. Untuk menuju kampung ini bisa menggunakan mobil dengan waktu tempuh sekitar tiga jam.
Mobil yang digunakan harus gardan ganda. Gardan adalah komponn mobil yang berfungsi memindahkan tenaga motor ke roda lewat perseneling. Jalan di Pegunungan Arfak belum beraspal dengan medan tanjakan dan turunan terjal di lereng perbukitan.
Dance, seperti umumnya orang Arfak lainnya, hidup dengan bercocok tanam. Mereka membuka kebun di kawasan susti. Zona susti adalah kawasan untuk bertani dan beternak. Di kawasan yang sudah tidak berbentuk hutan inilah Dance Ullo bercocok tanam.
Masing-masing keluarga memiliki lahan di area susti.Umumnya, mereka berpindah-pindah ketika membuka lahan kebun dan pertanian.Setelah dimanfaatkan beberapa musim, tempat tersebut kemudian ditinggalkan agar kesuburannya kembali. Kira-kira enam tahun kemudian, pemilik akan kembali ke lahan ini.
Ada dua zona lainnya dalam system pengelolaan kawasan Pegunungan Arfak, yakni nimahamti dan bahamti. Nimahamti adalah kawasan hutan yang boleh dimanfaatkan secara terbatas.Warga boleh mengambil hasil hutan seperti rotan, buah-buahan, kulit, dan tananaman obatan-obatan.
Bahamti adalah kawasan hutan yang sama sekali tidak boleh dijamah manusia. Orang Arfak menganggap kawasan hutan primer ini sebagai mama yang memberikan kehidupan dan dapat memenuhi segala kebutuhan masyarakat.Untuk itu, kawasan bahamti tidak boleh dijamah dan harus dijaga.
MenurutYakob Wonggor, tokoh adat Kampung Anggra, orang Arfak memiliki pandangan hidup bernama igyaserhanjop (mari kita berdiri menjaga) dalam mengelola lahan dan hutan. Dengan konsep ini, kawasan hutan dan lahan di Pegunungan Arfak relative bisa terjaga dengan baik.
Yakob mengatakan warga yang menebang kayu di zona bahamti bakal mendapat sanksi adat.Sanksi diputuskan oleh hakim adat yang disebut nekei.
“Sanksi yang dijatuhkan bisa berupa denda atau diusir. Denda bisa puluhan juta hingga ratusan juta. Nekei juga bisa memberikan sanski pelaku perusakan kawasan harus menyerahkan anak perempuannya kepada warga korban perusakan kawasan,” kata YakobWonggor.
Pegawai di Pemerintah Kabupaten Pegunungan Arfak ini mengaku sudah mendengar kabar REDD+ akan dilaksanakan di kawasan bahamti seluas 68 ribu hektar tersebut. “Suku Arfak sangat siap bekerja sama melaksanakan program REDD+ ini. Kami yakin, program REDD+ akan membuat iklim di Pegunungan Arfak tidak berubah sehingga orang sini bisa bercocok tanam dengan baik,” jelasnya.
Yakob mengatakan pemerintah pusat telah menetapkan zona bahamti PegununganArfak menjadi kawasan cagar alam.
MusimBerubah
Menurut Max Tokede, dosen Fakultas Kehutanan Universitas Papua (Unipa), masyarakat yang tinggal di PegununganArfak sudah terkena dampak perubahan iklim. Pemanasan global yang menyebabkan ketidakberaturan musim telah mengakibatkan orang Arfak tidak bisa lagi memulai persiapan kebun dan memulai menanam dengan jeda yang teratur.
Kata Max, musim bunga dan berbuah pohon uheyeceu, bipi, cipcai, dan ngkam di Pegunungan Arfak sudah tidak menentu. “Kapan berbunga, kapan berbuah tidak bisa dipastikan lagi.Selain itu, kalau dulu pohon-pohon itu berbuah dua kali, beberapa tahun terakhir bisa berbuah tiga kali setahun. Wajar kalau orang Arfak menjadi bingung menentukan kapan mulai musim tanam,” ungkapnya.
AnggotaSatuan Kerja Pembangunan Rendah Emisi Provinsi Papua Barat ini meminta agar warga Arfak mempertahankan hutan mereka. Selain itu, orang Arfak juga harus membuka lahan dengan menghindari cara pembakaran.
“Jika hutan semakin habis, banyak pembakaran, maka iklim semakin cepat berubah. Tahun ini saja, suhu udara di Papua Barat sangat panas, jauh lebih panas disbanding tahun-tahun sebelumnya,” kata Max.
Menunggu Kehadiran REDD+
Sebenarnya, Papua Barat menjadi pilot project REDD+ bersama sepuluh provinsi lainnya. REDD+ adalah program pengurangan emisi melalui pencegahan deforestasi dan degradasi hutan.Dengan program REDD+ ini, Papua Barat bertekad menurunkan emisi untuk mencegah terjadinya perubahan iklim.
Menurut Max Tokede, Satuan Kerja Pembangunan Rendah Emisi Provinsi Papua telah menyusun dokumen Strategi dan Rencana Aksi penurunan emisi. “Dokumen sudah selesai disusun dan bahkan sudah disahkan,” ungkapnya.Dokumen Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP) Papua Barat untuk Penurunan Emisi tersebut sudah disahkan lebih dari setahun lalu.
Sayangnya, pascapengesahan SRAP tersebut, tidak ada kelanjutan pelaksanaan program REDD+. Menurut Ketua Harian Satuan Kerja Pembangunan RendahEmisi, Herman Orisu, Pemerintah Pusat tidak pernah mengkomunikasikan kelanjutan program REDD+ dengan pihaknya.
“Kami jadi bingung, bagaimana kelanjutan program REDD ini. Tidak ada koordinasi dan komunikasi.Sementara, kami sudah melanjutkan persiapan di tingkat kabupaten.Dokumen Strategi dan RencanaAksi di sejumlah kabupaten sudah disiapkan, tapi Jakarta belum member kabar lagi,” jelasnya.
Selain itu, Pemerintah Provinsi Papua Barat hingga kini belum menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan pemerintah pusat. Ketiadaan nota kesepahaman ini membuat pelaksanaan REDD+ di Papua Barat tidak jelas.
Sebenarnya, pihak BP REDD+ sudah datang ke Manokwari untuk menandatangani nota kesepakatan dengan gubernur Papua Barat. Namun, ketika deputi operasional BP REDD+ saat itu William Subandar tiba di Manokwari 25 November 2014, Gubernur Abraham Octavianus Atururi sedang tidak ada di kantornya.
Namun, informasi berbeda disampaikan KepalaDinasKehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat, Hendrik Runaweri. Ia menyebutkan sebenarnya gubernur Papua Barat sudah siap menandatangani MoU dengan BP REDD+. “Namun waktu itu ditunggu-tunggu, pihak BP REDD+ tidak kunjung datang. Akhirnya, BP REDD+ dibubarkan oleh Bapak Presiden dan dilebur ke dalam Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” ujar Hendrik.
Hendrik Runaweri menegaskan Pemerintah Provinsi Papua Barat tetap berkomitmen melaksanakan program penurunan emisi. “Kami tetap melaksanakan kegiatan dalam rangka menurunkan emisi, di antaranya dengan melakukan sosialisasi ke masyarakat, menjaga luas kawasan hutan tidak berkurang, dan sebagainya,” ujarnya.
Pemerintah Provinsi Papua Barat, tambah Hendrik, juga tidak bergantung dengan pemerintah pusat untuk melaksanakan program REDD+. “Gubernur Papua Barat sudah bergabung dengan sejumlah gubernur lainnya membentuk forum. Diharapkan forum ini juga bisa menjadi media untuk menggalang dana pelaksanaan REDD+,” ungkap dia.
Tokoh adat Kampung Anggra, YakobWonggor, berharap yang dijanjikan Hendrik Runaweri segera terealisasi. “Kami menunggu pelaksanaan REDD+ di PegununganArfak,” ungkapnya.
Published in