Tantangan BRG: Hidrologi, Regulasi, Pemberdayaan Masyarakat

 

 

Palangka Raya, ClimateReporter, 20 Feb – “Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar yang merupakan megaproyek Presiden Soeharto, pada kenyataannya menjadi lahan sejuta masalah,” kata Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah, Sipeth Hermanto, mengutip mantan Gubernur Kalteng, Agustin Teras Narang.

 

 

 

PLG membuka gambut 1995 seluas 1,4 juta hektar di Kalimantan Tengah untuk dijadikan sawah supaya Indonesia swasembada beras. Kanal-kanal primer, sekunder, dan tertier digali sepanjang total 4.000 km untuk mengeringkan gambut sehingga bisa dikonversikan.

Karena lahan gambut jadi kering, lahan mudah terbakar. Emisi karbon besar-besaran berdampak pada kesehatan masyarakat dan kehidupan ekonomi sosial selain kerusakan ekologi.

Fisik kawasan gambut Kalteng sudah telanjur rusak, Kebakaran hutan dan gambut sudah terjadi setiap tahun sejak 1997 karena salah urus PLG, ujarnya

Itulah sebabnya restorasi gambut di Kalimantan Tengah menjadi diskusi sentral dalam pembukaan lokakarya wartawan lima hariMeliput Perubahan Iklimdi hotel Aquarius Boutique, Palangka Raya, Sabtu 20 Feb.

Bahasan berkisar pada tantangan dan solusi bagi Badan Restorasi Gambut (BRG) yang baru dibentuk Januari 2016. Lembaga Pers Dr. Soetomo mengadakan lokakarya ini yang diikuti oleh sepuluh wartawan dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Pemulihan hidrologi (tata air), tertib regulasi, dan pemberdayaan masyarakat menjadi tantangan bagi BRG.

Kebakaran hutan dan lahan gambut berlangsung Agustus – November 2015 di Sumatera dan Kalimantan dan menimbulkan dampak besar dan berlapis. Seluas 2,6 juta hektar lahan terbakar. Kebakaran menimbulkan kabut asap . Sebanyak 43 juta orang terkena efek, dan 500.000 jiwa menderita karenanya.

Kepekatan partikulat (debu halus) dalam kandungan kabut asap kadarnya sebanyak 30 kali kandungan cuaca normal. Ini menimbulkan infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) berat. Nilai kerugian ditaksir antara USD 15—20 miliar.

Di Kalimantan Tengah areal terbakar seluas 402.000 hektar dan 90 persen berada di lahan gambut. Lahan gambut Kalimantan Tengah seluas 4,8 juta hektar. Luas Kalteng 153.000 km2 atau 1 ½ luas Jawa.

Badan Restorasi Gambut mau merestorasi dua juta ha gambut. Tantangan bagi BRG ialah hidrologi atau tata air ekosistem gambut sulit dipulihkan karena kerusakan. Lebih jauh, pemetaan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) belum bisa diterapkan dan memerlukan survei mikro untuk mendaptkan kondisi riil, kata Sipeth menambahkan.

Penataan izin juga menjadi masalah, menurut Sipeth. Izin bertumpang tindih bisa terjadi di satu lahan yang sama. Sipeth mengatakan ada empat klasifikasi masalah sebagaimana diutarakan Unit Kerja Presiden dalam Penanggulangan dan Pemantauan Pembangunan (UKP4) pada periode Presiden SBY: 1) tumpang tindih izin sesama komoditas. 2) beda komoditas. 3) tumpang tindih kewenangan. 4) tumpang tindih koordinasi lapangan.

“ Kita mau marah seperti apa? Ini problem-problem terkait regulasi,” Sipeth menambahkan.

Darmae Nasir, dosen Fakultas Ekonomi Universitas Palangka Raya (Unpar) dan peneliti CIMTROP, membenarkan masalah terkait regulasi ini. CIMTROP ialah Pusat Penelitian Internasional Tata Kelola Hutan Gambut Tropis di Unpar.

Persoalan timbul karena regulasi tak dilaksanakan dengan sebenarnya. Kisruh tata ruang di Kalteng menimbulkan banyak masalah, ujar spesialis manajemen lingkungan ini.

“Akhirnya ada land grabbing (pencaplokan tanah).” Adanya pemilihan kepala daerah, “maka bupati beri izin agar balik modal. Korupsi dan nepotisme merajalela,” kata Darmae.

Darmae mengatakan ada aspek teknis dan nonteknis dalam restorasi gambut. Segi teknis mencakup dikembalikannya fungsi hidrologi, perlindungan keaneka ragaman hayati, dan penurunan emisi gas rumah kaca. Nonteknis bisa mencakup politik anggaran, regulasi dan peran masyarakat.

Agar BRG berhasil, baik Darmae maupun Sipeth sepakat regulasi, terutama RTRW, perlu tertib dan pemberdayaan masyarakat perlu direalisasi.

Sipeth mencontohkan kelompok tani d Desa Jabiren, Kabupaten Pulang Pisau. Warga desa itu menyiram kebun karet mereka pagi dan siang dengan air sumur bor. Dengan demikian, lahan mereka luput dari kebakaran api akhir tahun lalu. Tetapi kelompok-kelompok lain di desa itu belum memiliki perangkat sumur bor dan pompa. Kepada mereka perlu diberi akses bantuan dana, kata Sipeth.

Lebih jauh, kedua narasumber tersebut menekankan pencegahan kebakaran lebih penting daripada pemadaman kebakaran. Dengan pencegahan maka tidak timbul kabut asap berikut berbagai dampaknya.

Panel diskusi di lokakarya mengundang Nazir Foead, kepala BRG, yang dilantik di Istana Merdeka 19 Januari. Dalam lokakarya, Nazir diminta memaparkan agenda dan tantangan restorasi gambut di Indonesia. Nazir berhalangan hadir karena pada hari yang sama ia melantik lima pejabat eselon satu BRG: satu sekretaris dan empat deputi kepala.

Bupati Pulang Pisau, Edy Pratowo, juga diundang untuk menguraikan restorasi gambut di kabupatennya. Pulang Pisau adalah kabupaten prioritas restorasi gambut di Kalteng, tetapi Bupati Edy sedang umrah saat lokakarya berlangsung.

Lokakarya diikuti kunjungan kawasan pada hari kedua. Peserta meninjau tiga lokasi di luar Palangka Raya yang diketahui berhasil memadamkan kebakaran gambut dan melakukan tindak preventif. Tiga lokasi itu ialah hutan gambut hakmilik perseorangan Jumpun Pambelom (atinya ‘sumber kehidupan dalam bahasa Maayan untuk kata pertama dan bahasa Dayak Ngaju untuk kata kedua), Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) dari CIMTROP, dan Pusat Rehab Orang utan Yayasan BOS.

Peserta lokakarya ialah Intan Hamid, harian Mercusuar di Palu; Yani Basaroni, Koran Babel, Pangkalpinang; Sumarlin, ZonaSultra.com, Kendari; Veby Riki Yanto, valora.co.id, Padang; Lorni Nur Intan Sinaga, RRI, Kota Bengkulu; Mursalin, harian Republika, biro Bandarlampung; Nico Pattipawae, SCTV, biro Manokwari; Rendhik Andika, ANTARA, biro Palangka Raya; Gilang Rahmawati, harian Kalteng Pos, Palangka Raya; Ahmad Sidik, harian Tribun Kaltim, Balikpapan.

 

Published in Uncategorised