Oleh Yani Basaroni, Koran Babel, Pangkal Pinang, Bangka Belitung, peserta kunjungan kawasan LPDS ke Kalimantan Tengah, Februari 2016
“Empap pap pap,” kata wanita bule berparas cantik bernama Jenn Brousseau asal Amerika.
“Jangan coba mendekat, jika mendengar suara seperti itu di dalam hutan Borneo sebutan lain dari pulau Kalimantan. Sebaiknya masyarakat menghindar dari lokasi sekitar munculnya suara itu, atau mencari tempat berlindung,” kata sarjana biologi Universitas Boston dan S2 Universitas Kent dalam konservasi monyet. Jenn di Kalimantan Tengah untuk meneliti primata.
Temuan ini diketahui setelah Jenn beradaptasi di Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG), Kereng Bangkirai-Sebangau, Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
“Empap pap pap, merupakan suara orangutan yang merasa terusik atas keberadaan manusia di sekitarnya,”ujar Jenn.
Jenn adalah satu dari sejumlah peneliti internasional dan Indonesia yang melakukan penelitian di LAHG. Dia khusus meneliti frekuensi suara orangutan atas tugas satu organisasi negara Inggris selama satu tahun.
LAHG dapat dicapai dengan menumpang kelotok selama 10 menit menyeberang rawa Sungai Sebangau dari dermaga tambatan perahu di Desa Kereng Bingkarai di baratdaya Palangka Raya, ibukota provinsi.
Ragam penelitian diadakan di LAHG yang diapit Taman Nasional Sebangau. Obyek penelitian mencakup kupu-kupu hingga ke owa-owa (gibbon) dan hidrologi. Selain Jenn, dua peneliti asing lain ditemui. Cara “Caz” Wilcox, sarjana S2 dari Universitas Edinburgh, Skotlandia, meneliti perilaku dan kesejahteraan bekantan (probocis monkey). Carolyn Thompson, tamatan MRES (S2) di Roehampton, London,dalam biologi primata, juga meneliti perilaku dan konservasi primata.
“Dia orangutan. Kalau dia takut dengan keadaan lingkungan sekitar akan menimbulkan suara seperti kita manusia berciuman. ‘Empap pap pap’,” sambung Jenn menjelaskan dengan bahasa Indonesia.
Lanjut Jenn, untuk memperbesar frekuensi suara ciuman tersebut, biasanya orangutan menempelkan dedaunan di mulutnya. Jika sudah demikian, orangutan akan lebih agresif kepada lingkungan sekitar. Sebaiknya manusia menjauhi lingkungan sekitar, atau mencari tempat perlindungan diri, ujarnya.
“Dia akan mematahkan ranting pepohonan, bahkan menyerang manusia. Menurut mereka(orangutan), keberadaan manusia dapat mengancam keberlangsungan aktifitas pada habitatnya, seperti menghilangkan sumber makanan hingga dianggap menganggu keberlangsungan pada musim kawin,” katanya.
Secara kasat mata, manusia bisa mengetahui orangutan marah dari bulunya yang berdiri.
“Kalau kita manusia namanya merinding bulu kuduk,” canda Jenn sambil tersenyum.
Jenn diminta sekali lagi mencontohkan suara orangutan kalau marah disertai bulu guduk merinding.
Kembali Jenn memperaktekannya, “empap pap pap”, sambil tertawa terbahak.
Selaku peneliti yang baru tiba Februari 2016 di Palangka Raya, Jenn mengaku takjub dengan temuanya secara langsung ini. Sebab, dari berbagai situs internet atau jejaring sosial, ia tidak menemukan informasi tersebut.
“Kalaupun orangutan merasa senang, orangutan itu akan diam sambil lihat-lihat aktifitas manusia dari atas pohon,”kata Jenn.
Ia mengungkapkan keseharian orangutan di hutan aktifitasnya sama seperti manusia. Dia mencari makan, mengerus keluarga hingga sang betinapun akan hamil lalu mengandung anaknya selama 9 bulan.
“Anaknya akan dijaga oleh sang induk hingga berumur 3 tahun. Sama seperti bayi manusia, dia juga minum Air Susu Ibu (ASI),”ungkapnya.
Sementara itu, sang ayah akan mengajarkan berbagai hal, mulai dari bagaimana caranya bergelantungan dari satu pohon ke pohon lain, hingga cara mencari dan memperkenalkan sumber makanan di hamparan hutan.
“Kalau sudah mandiri, biasanya anak orangutan akan hidup bebas dengan pasangan yang ia jumpai di dalam hutan,”ceritanya.
Dampak Kebakaran
Saat ditanya tanggapan paskakebakaran hutan dan lahan gambut Oktober 2015, Jenn mengaku sangat sedih. Saat itu para peneliti sempat menemukan empat orangutan mengalami luka bakar di sekitar hutan gambut Taman Nasional Sebangau.
“Keempat orangutan yang ditemukan berhasil diselamatkan. Mereka rata-rata hanya luka bakar. Mereka sudah diberikan penanganan medis oleh dokter hewan yang ada di LAHG, lalu dilepas liarkan kembali di kawasan Taman Nasional Sebangau,” ungkapnya.
Agar habitat orang utan terus terjaga kelestariannya. Ia mengusulkan ke pihak terkait, agar pepohonan sumber makanan orangutan yang terbakar segera ditanam kembali. Seperti pisang hingga pepohonan lainnya tempat berkembang para serangga
Tidak banyak berharap ke pemerintah, para peneliti dan awak LAHG sendiri secara kontinu telah menanam kembali sumber makanan orangutan di hutan Sebangau yang terletak di barat daya Palangka Raya, atau KM 12 dari titik nol bundaran besar kota.
Untuk luasan lahan yang bakal di reboisasi mencapai ¼ dari total luas LAHG seluas 50 ribu ha, angka tersebut sesuai luasan hutan yang terbakar tahun 2015. Dari data yang dimiliki Jenn, dulunya di Taman Nasional Sebangau dengan luas 568.700 ha ini pernah hidup sekitar 7.000 individu orangutan. namun habitat tersisa paskakebakaran dalam kurun waktu 20 tahun belakang menjadi 3.000 individu.
Penyebab berkurangnya populasi orangutan, yakni penyakit, kebakaran hutan, semakin sempitnya luasan habitat karena aktiftas perkebunan hingga kematian karena faktor usia. Usia hidup Orang Utan hanya berkisar hingga 45 tahun di dalam hutan, sementara jika dipelihara oleh pengurus kebun binatang bisa mencapai 55 tahun.
Kayu Ranting Jatuh
Temuan Jenn tentang amarah orangutan terbukti benar. Di pusat rehab orangutan Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) di Nyaru Menteng, satu jam bermobil barat laut Palangka Raya, terdengar suara “Praaaaak”. Ternyata kayu ranting nyaris mengenai rombongan pengunjung.
Peristiwa ini dialami rombongan usai meninggalkan ruang pertemuan mendengar paparan Koordinator Komunikasi dan Pendidikan Montredo Friedman.
Di bawah pepohonan besar terdengar suara baby sitter orangutan berteriak secara berulang-ulang. “Nok, nok. Anok, Ayo turun. Ini ada makanan”. Tapi, orangutan bernama Anok dengan usia 8 tahun itu tidak mau turun. Justru Anok bertambah agresif. Beberapa ranting pohon dengan panjang satu meter dijatuhkan ke tanah.
Saat marah, bulu di sekujur tubuh Anok tampak berdiri. Iapun berusaha menjauhi kerumunan manusia yang melihatnya dari bawah pohon. Kurang lebih 40 menitan Anokpun menuju lokasi kandang sembari digiring babysitter dari bawah menggunakan minuman kesukaan Anok.
“Kalau merasa terganggu, sekujur bulu di badan orangutan berdiri seperti ini,” kata Montredo kepada rombongan peserta lokakarya wartawan LPDS sembari menunjuk ke arah Anok.
Ia menceritakan Anok saat ini kabur dari kelasnya. Anok adalah salah satu orangutan yang mengikuti program reintroduksi orangutan di Nyaru Menteng. Saat ini Anok berusia 8 tahun. Ia masih duduk di kelas kecil usia anak-anak. Kabur dari kelas biasa dilakukan Anok karena termasuk oranguutan yang selalu menyendiri.
“Kalau dia ingin sendiri, Anok tidak mau gabung sama teman lainnya di sore hari. Tapi, biasanya peristiwa penyendiriannya di sekitar kawasan hutan Nyaru Menteng berlangsung singkat, karena setelah itu biasanya Anok pulang sendiri ke area sekolah,”kata Montredo.
Luas hutan pendidikan Nyaru Menteng sendiri mencapai 62 ha, 15 ha diantaranya merupakan Central Reintroduction Orangutan yang terdapat 55 individu orangutan. Di sini orangutan dibuat liar, bukan dibuat jinak.
“Orangutan yang sudah dianggar mandiri dan liar akan kita lepasliarkan ke sejumlah hutan taman nasional Kalteng. Sejauh ini 500 lebih orangutan sudah kita lepasliarkan di hutan Kaja, Palas dan Bangamat,”ungkapnya.
Untuk membiayai sekolah orangutan ini, Montredo mengaku sumber dananya dari swadaya warga negara asing Denmark melalui Yayasan BOS. Dalam hal ini, pihaknya hanya berharap agar Pemerintah RI terus menjaga kelestarian hutan Kalimantan.
“Kepada masyarakat Kalimantan, kami meminta agar tidak memelihara orangutan. Sebab, kalau orangutan sudah bersifat jinak, maka dia akan malas dan menggantungkan hidupnya ke manusia,” katanya sembari menyebut 97,3 persen DNA orangutan sama persis dengan manusia.
Dia juga tidak menapik faktor utama kematian orangutan ialah minimnya sumber makanan. Reboasasi lahan paskakebakaran hutan merupakan solusi tepat untuk melestarikan primata khas Borneo, orangutan, ujarnya.
Peserta lokakarya wartawan Meliput Perubahan Iklim LPDS berdialog dengan peneliti Lahan Alam Hutan Gambut, CIMTROP, Universitas Palangka Raya di base camp LAHG 21 Feb 2016. (Foto Basaroni)
C Orangutan berperilaku agresif saat melihat ramainya manusia datang di pusat rehab orangutan BOS di barat laut Palangka Raya. Anok nama orangutan saat itu kabur dari kelasnya. Tampak bulu di sekujur badan Anok berdiri tanda bahwa dia terganggu. (Foto Basaroni)
Published in