Karya Peserta Lomba Jurnalistik Banyu Urip 2017 – “Membangun Desa dari Tetesan Sumur Tua”

Membangun Desa dari Tetesan Sumur Tua

Kamis, 22 September 2016 | http://suarabanyuurip.com/kabar/baca/membangun-desa-dari-tetesan-sumur-tua

Tak semudah membalikkan telapak tangan untuk bisa menikmati hasil dari sumur minyak tua. Membutuhkan kesabaran dan ketelatenan dalam mengerjakannya. Tak cukup itu saja, juga butuh waktu lama dan biaya besar untuk memamanen produksi sumur peninggalan zaman penjajahan Belanda tersebut.

RATUSAN titik sumur minyak tua yang tersebar dilapangan Ledok, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, menjadi harta karun besar bagi masyarakat sekitar. Bermodal alat sederhana, para penambang mencari titik peninggalan orang tua terdahulu untuk digali yang kemudian dilakukan penambangan.

Seorang penambang sumur tua Ledok, Tarmadi (53), mengungkapkan, perkembangan zaman yang semakin modrn, mampu merubah cara dalam melakukan penambangan. Mulai dari semula menggunakan alat manual berubah dengan menggunakan mesin.

“Saya ikut bekerja di sumur tua sejak tahun 2000. Saat itu, semua peralatan masih manual. Bahkan untuk menarik timba, masih menggunakan tenaga manusia. Tidak mengugunakan mesin seperti saat ini,” kata Tarmadi (53) saat membuka kisah tentang penambangan sumur tua kepada suarabanyuurip.com.

Tarmadi, menceritakan, kala tahun 2000 belum banyak kelompok penambang seperti saat ini. Saat itu hanya kisaran 17 sampai 20 kelompok. Masing-masing kelompok beranggotakan 20 sampai 25 orang saja.

“Kalau sekarang sudah sekira 40 kelompok,” kata Pria yang juga ketua kelompok penambang sekaligus penasihat Paguyuban sumur tua, Sumur Agung Desa Ledok, Kecamatan Sambong ini.

Waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun berjibaku dengan sumur tua. Supaya sumur bisa mengeluarkan minyak mentah sesuai yang di inginkan. Mulai dari menemukan titik baru, menggali, servis, pengurasan sumur, sampai sumur berproduksi.

“Ada yang membutuhkan waktu sebulan, tiga bulan, bahkan sampai tiga tahun baru bisa berproduksi,” ungkap Tarmadi yang juga menjabat sebagai ketua LKMD Ledok ini.

Lamanya waktu yang dilalui penambang, itu tergantung modal yang dimiliki. Karena satu sumur pada masa sekarang bisa menghabiskan biaya kurang lebih Rp. 1,5 miliar. Berbeda dengan awal dirinya mulai bekerja pada sumur tua tahun 2000 lalu, yang hanya menghabiskan biaya Rp.400 juta.

“Seiring dengan beralihnya peralatan dari manual ke tenaga mesin serta naiknya harga peralatan dan semakin meroketnya kebutuhan yang berpengaruh pada ongkos produksi,” tutur bapak dari dua anak tersebut.

Beratnya perjalanan yang harus dilalui tak lantas membuat warga Ledok putus asa dan menyerah begitu saja. Melainkan aktivitas terus dijalankan. Selain itu, menurut Tarmadi, mereka juga tidak terlalu ngoyo (dipaksakan) untuk segera memperoleh hasil dari penambangan.

Lagipula aktivitas menambang sumur tua adalah bukan pekerjaan utama bagi mereka melainkan pekerjaan sampingan. Sedangkan pekerjaan utamanya bagi warga adalah pertanian.

“Kalau modal habis kita berhenti dulu. Kalau sudah ada modal, kita lanjutkan lagi,” ungkapnya.

Meski membutuhkan modal yang cukup besar, dirinya tetap optimis jika sumur tua masih menjanjikan. Terbukti, sampai saat ini minyak masih terus nyumber (keluar) sejak Zaman Kolonial Belanda,” kata dia.

Ada sekira 850 orang yang bekerja di sumur tua. Pihaknya selalu mendorong dan memotivasi warga untuk bisa menikmati emas hitam dari perut bumi wilayah Kecamatan Samong.

“Walaupun bekerja tani, namun tetap ada penghasilan lain,” terangnya.

Dia mengaku, terus termotivasi untuk mengerjakan sumur tua karena melihat kondisi perekonomian masyarakat di desanya perlu ditingkatkan. Selain itu juga peningkatan pembangunan infrastruktur desa.

“Ingin meningkatkan kesejahteraan Desa Ledok. Alhamdulillah jalan sepanjang 4 kilo meter berhasil dibangun dengan ber-aspal dari hasil sumur tua. Anak yatim kita santuni, rumah yang ambruk kita bantu. Intinya bangun desa melalui sumur tua,” tandasnya.

Namun memasuki tahun 2016, tepatnya pada bulan Januari aktivitas penambangan tiba-tiba menjadi sepi. Akibat anjloknya harga minyak hingga menyentuh level terendah. Sehingga, banyak sumur dibiarkan mengangur. Warga lokal tidak lagi berani mengerjakan sumur karena biaya produksi cukup tinggi.

“Masyarakat banyak yang aras-arasen (malas) beraktivitas,” kata dia.

Dari warga lokal sendiri, lanjut dia, tidak banyak yang berani mengerjakan sumur. Setidaknya butuh biaya Rp40 juta dalam satu bulan untuk ongkos produksi, untuk sumur yang rutin berproduksi. Hasilnya pun belum bisa ditentukan. Penambang kebanyakan hanya melakukan pengambilan minyak dua kali dalam satu bulan.

“Itupun hanya mengambil minyak yang sudah tertampung pada lobang sumur (Ngendon),” jelasnya.

Dia berharap, harga minyak bisa segera kembali setabil. Supaya warga bisa lebih semangat untuk menimba minyak dari sumur dan tidak ada pengangguran.

“Terlebih untuk meningkatkan ekonomi masyarakat,” tendasnya.

Kepada Desa Ledok, Sardi, membenarkan jika banyak warganya yang bekrja pada sumur Tua. Dengan adanya penambangan Sumur tua, warga bisa meningkatkan taraf perekonomiannya.

“Yang penting bisa menyejahterakan,” tuturnya. (AS)

Published in Inside Mining