Oleh Atmakusumah
LBH Pers saat ini sedang mengadakan eksaminasi publik untuk membahas putusan kasasi Mahkamah Agung. Putusan itu mengukuhkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan Pengadilan Tinggi Jakarta tentang surat pembaca yang dimuat di media.
Penulis surat pembaca, Aseng—lengkapnya Khoe Seng Seng—adalah pemilik kios di pusat perdagangan Mangga Dua, Jakarta Utara. Ia dijatuhi hukuman penjara enam bulan dalam masa percobaan satu tahun karena dituduh ”menista” lewat surat pembaca di harian Kompas dan Suara Pembaruan.
Surat pembaca Aseng mengandung opini selain serangkaian fakta. Ia mengeluhkan ketidakjelasan informasi ketika membeli kios di pusat perdagangan Mangga Dua.
Sejak membeli kios itu pada 2003 dari PT Duta Pertiwi, ia tidak pernah mendapat keterangan bahwa status tanah tempat kios-kios dibangun adalah milik Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Saat memperpanjang sertifikat hak guna bangunan (HGB) yang berakhir 17 Juli 2008, barulah ia tahu kios-kios itu bukan ”HGB murni di atas tanah milik bersama” melainkan berstatus ”HGB di atas tanah dengan hak pengelolaan lahan (HPL) milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta”.
Surat pembaca Aseng dimuat di Kompas pada 26 September 2006, berjudul ”Duta Pertiwi Bohong”. Sementara di Suara Pembaruan dimuat 20 November 2006 berjudul ”Jeritan Pemilik Kios ITC Mangga Dua”.
Pendapat Aseng dalam karya jurnalistik sama dengan ”opini interpretatif” karena dilengkapi dengan fakta-fakta yang mendukung opini itu. Kode Etik Jurnalistik yang berlaku, disepakati 29 organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers pada 14 Maret 2006, menyatakan pada Pasal 3: ”Wartawan Indonesia … tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi….”
Penjelasan c untuk pasal ini menyatakan: ”Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta”.
Hak Jawab
Baik Kompas maupun Suara Pembaruan telah memenuhi kewajibannya sesuai dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik untuk memuat surat tanggapan berupa penjelasan dari perusahaan penjual kios yang dimiliki Aseng. Dengan demikian, publik sebagai pembaca kedua surat kabar ini memperoleh informasi yang obyektif dan komprehensif dari kedua pihak yang bersengketa. Kedua pihak diperlakukan adil oleh kedua surat kabar.
Kompas pada 4 Oktober 2006 memuat surat bantahan Suyono Sanjaya, GM Legal PT Duta Pertiwi Tbk, berjudul ”Status HGB di Atas HPL”. Suara Pembaruan menyajikan surat tanggapan Dhony Rahajoe, Corporate Communications General Manager Sinarmas Developer & Real Estate, berjudul ”PT Duta Pertiwi Tbk. Tidak Menipu”.
Mengenai hak jawab, UU Pers menjelaskan pada Butir 11 Pasal 1: ”Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan dan sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.” Pasal 5 ayat (2) menegaskan, ”Pers wajib melayani Hak Jawab.” Sementara Kode Etik Jurnalistik menyatakan pada Pasal 11 bahwa: ”Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.” Penafsiran pasal ini tentang hak jawab sama dengan penjelasan UU Pers.
Kebebasan Pers
Gugatan hukum pidana terhadap surat pembaca Aseng akan membuat Indonesia kembali mendapat peringkat rendah dalam hal kebebasan pers. Lebih-lebih karena isi surat dipersalahkan ketiga tingkat pengadilan, dari pengadilan negeri sampai ke Mahkamah Agung. Inilah yang disebut ”kriminalisasi pers”, menganggap isi media pers sebagai kejahatan.
Reporter Tanpa Perbatasan (Reporters sans frontières, RSF) yang meneliti kebebasan pers di 179 negara menempatkan kebebasan pers Indonesia pada peringkat ke-146 tahun 2011. Bandingkan dengan penelitian RSF tahun 2002 yang menempatkan kebebasan pers di Indonesia pada peringkat ke-57 dari 139 negara.
Salah satu penyebab memburuknya kebebasan pers di Indonesia adalah sejumlah putusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman penjara bagi wartawan karena karya jurnalistiknya. Pasal-pasal hukum yang dikenakan berupa mencemarkan nama baik atau menghina, sama halnya yang dituduhkan pada surat Aseng.
RSF secara khusus menyebutkan penggunaan ”hukum yang ketinggalan zaman (outdated laws)” terhadap pers sebagai salah satu alasan untuk menempatkan kebebasan pers di Indonesia pada peringkat rendah. Hukum ketinggalan zaman itu terutama adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), warisan pemerintah kolonial Belanda.
Di banyak negara demokrasi yang menjamin kebebasan pers dan kebebasan-kebebasan dasar lainnya, isi media pers tidak harus menyebabkan pengelolanya masuk penjara, melainkan hanya dikenai sanksi denda (untuk perkara pidana) atau ganti rugi (dalam perkara perdata). Sanksi demikian tidak menyebabkan kalangan pers dan masyarakat menjadi orang-orang yang takut mengungkapkan pandangan serta aspirasi mereka.
Pemakaian pasal pidana terhadap pekerjaan pers dianggap melanggar kaidah universal dan standar internasional tentang kebebasan berekspresi dan berpendapat. Komite Hak-hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Human Rights Committee) memandang penggunaan undang-undang pidana dengan sanksi hukum badan atau penjara bagi gugatan defamation atau libel—seperti fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, dan penistaan—sebagai pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi.
Hapus Ketentuan Pidana
Komite HAM PBB juga menyatakan, sanksi penjara ”bertentangan dengan Pasal 19 ayat 3 International Covenant on Civil Political Rights (Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Politik Warga)” atau kebebasan berekspresi. Ini menanggapi perkara Alexander Adonis, penyiar Bombo Radyo di Davao, Filipina, yang dituduh menghina atau mencemarkan nama baik (libel) dalam siaran radionya.
Penghapusan ketentuan hukum pidana tentang pencemaran nama baik (defamation), penghinaan (insult), fitnah (slander, libel), dan kabar bohong (false news), atau pengalihan dari pidana ke perdata sudah dilakukan di banyak negara demokrasi termasuk Timor Lorosa’e. ”Perintah Eksekutif (Executive Order) UNTAET” pada 7 September 2000 menetapkan Pasal 310 sampai 321 KUHP tentang Penghinaan sebagai bukan-tindak-pidana.
Di Afrika, Presiden Niger Mahamadou Issoufou pada 30 November 2011 menjadi kepala negara pertama yang menandatangani Declaration of Table Mountain yang menyerukan agar mencabut pasal hukum pidana tentang pencemaran nama baik (defamation) dan penghinaan (insult) di Afrika. Deklarasi itu juga menyerukan untuk meletakkan kebebasan pers pada tempat yang tinggi.* SUMBER: KOMPAS, 15 Mei 2012
Atmakusumah (Pengamat Pers; Anggota Dewan Penyantun Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers)
Published in