Oleh Sofyan Harahap
Saat Pemred menunjuk saya sebagai wartawan Waspada pertama ikut uji kompetensi level utama yang diselenggarakan oleh Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS), awalnya biasa saja. Saya menyatakan ‘’siap!’’ walaupun dua pekan sebelumnya, Dewan Pers sudah mengirim surat via faksimili ke Waspada yang isinya meminta Pemred Waspada untuk mengirimkan nama-nama wartawan seniornya, minimal sudah berusia lebih 50 tahun dan melakoni profesi wartawan selama 30 tahun tanpa putus untuk diberi sertifikat tanpa harus ikut uji kompetensi lagi –sesuai Statuta Dewan Pers.
Dan saya termasuk yang ditelefon langsung oleh Pemred untuk menyiapkan berkas, membuat curriculum vitae (riwayat hidup). Berkas asli dikirim ke Dewan Pers dan fotokopinya ikut dikirim ke PWI Cabang Sumut untuk diikutkan dalam proses seleksi dan verifikasi.
Oleh karena itu, semestinya tanpa mengikuti uji kompetensi pun peluang memperoleh sertifikat ‘’lulus’’ uji kompetensi wartawan oleh Dewan Pers cukup terbuka. Apalagi, hampir semua jenjang bidang tugas di keredaksian sudah pernah saya jalankan sejak 1978, mulai dari korektor, layouter, wartawan olahraga, wartawan umum, general assignment, sampai chief reporter dan sejumlah posisi redaktur sebagai ‘’jantungnya’’ penerbitan surat kabar pernah saya nikmati selama tiga dekade berprofesi sebagai jurnalis, hanya di satu surat kabar (Waspada) saja. Begitu pula sebagai redaktur pelaksana, wapemred, redaktur eksekutif, wakil penanggung jawab, sampai penanggung jawab edisi luar kota, dan ketua tim etika yang merupakan jabatan penuh tantangan dalam era kebebasan pers, sejalan dengan semakin tinggi dan beragamnya tuntutan masyarakat/pembaca di era globalisasi.
Sekalipun beberapa teman di kantor maupun rekan dari media lain sempat menyarankan agar saya tidak ikut uji kompetensi lagi, namun saya memang ingin merasakan kadar maupun nuansa uji kompetensi yang merupakan babak baru dalam dunia kewartawanan Indonesia. Saya mendengar yang diujikan tidak hanya teori jurnalistik, kode etik jurnalistik, hukum pers, tapi juga praktik penulisan beragam karya jurnalistik yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan/keahlian, dan sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas-tugas kewartawanan. Hal itu membuat saya tertantang mengikuti uji kompetensi. Bukan saja sudah merupakan kesepakatan antarperusahaan media nasional sesuai dengan Piagam Palembang 2010, tapi juga harapan masyarakat agar media massa lebih profesional, dan hal itu sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
Ya, hitung-hitung menambah pengalaman dan pengetahuanlah, setidaknya melengkapi biodata. Tentu saja meskipun sudah tiga dasawarsa menjadi wartawan, sudah mengikuti pelatihan dan ujian di PWI cabang, tapi di mata Dewan Pers (bisa saja) saya dinilai belum cukup memiliki kompetensi. Kalaupun itu terjadi mau tidak mau harus diterima dengan lapang dada sehingga harus belajar lagi.
Memang dalam uji kompetensi oleh LPDS, lembaga pers yang ditunjuk Dewan Pers, pada 22-23 Februari 2011 di Hotel ASEAN Medan, saya adalah peserta paling tua dari 19 peserta lain berasal dari berbagai surat kabar, radio dan televisi. Awalnya, saya berharap ada jugalah satu-dua wartawan senior seusia saya, karena War Djamil, dikabarkan juga ikut uji kompetensi. Tapi, menjelang pelaksanaan uji kompetensi, rekan saya dari Analisa itu berhalangan hadir karena kabarnya punya tugas ke luar daerah. Harapan pun sirna. Peserta lainnya, antara kepala 3 dan kepala 4, bahkan ada yang usianya 20-an tahun untuk level muda tentunya.
Walaupun peserta uji kompetisi relatif usia muda namun saya berusaha beradaptasi dengan mereka. Menyenangkan juga bisa berkumpul dengan mereka, di antaranya anak didik saya di kampus. Mereka cukup respek dengan seniornya, menghargai kehadiran saya, bahkan sebagian dari mereka mau sharing terkait materi uji kompetensi yang sebenarnya sudah diinformasikan oleh Dewan Pers karena memang peserta uji kompetensi wajib tahu apa yang akan diujikan. Tidak boleh ada yang ditutupi. Dalam hal memberi nilai pun penguji wajib memberi tahu berapa nilai yang didapat peserta, bahkan disebut-sebut boleh melakukan ‘’tawar-menawar’’ seusai unit-unit yang diujikan baik tertulis maupun lisan—tentu saja peserta harus memberi argumentasi. Sebagian peserta uji kompetensi mengaku berhasil memanfaatkan peluang tersebut, yang seharusnya nilainya 80 kemudian dinaikkan menjadi 90.
Khusus dalam kaitan pemberian nilai ini, saya termasuk orang yang ‘’keras’’ menolak sistem ‘’tawar-menawar’’ karena memang sejak masa sekolah dulu maupun saat duduk di bangku kuliah PTN dan PTS saya termasuk mahasiswa yang enggan, malu rasanya meminta nilai atau tepatnya berkompromi dengan dosen. Nilai berapa pun saya terima, bahkan nilai C tidak pernah saya ulang (ujian perbaikan).
Berulang kali, penguji dari Dewan Pers/LPDS Jakarta meminta saya, apakah sudah setuju dengan nilai yang diberikannya, saya jawab itu hak bapak. Atau sesekali penguji mencoba membujuk saya untuk menilai sendiri berapa angka yang pantas di mata saya (peserta) untuk komponen yang baru diuji — setelah penguji memeriksa dan menguraikan sisi lemahnya. Saya pun tegas menolak. Sebab, sebagai mantan guru di SMP Negeri dan dosen, saya tahu betul hak prerogatif memberi nilai ada di tangan guru/dosen. Siapa pun tidak bisa melakukan intervensi, kecuali memang sistem penilaiannya tidak sesuai dengan standar baku alias curang. ‘’Mohon maaf, jangan desak saya untuk menilai diri sendiri, itu sudah komitmen saya tidak akan mau meminta dan menilai diri sendiri, titik!’’ Akhirnya sang penguji pun maklum akan prinsip yang saya pegang. Ia hanya mengutarakan nilai saya sekian, tolong ditandatangani kalau setuju, tanpa berusaha menanya lagi, apakah saya bersedia atau tidak dengan nilai yang diberikannya.
Percaya diri
Saat upacara pembukaan uji kompetensi sempat terbersit di hati bagaimana jika gagal dan harus mengulang–tolok ukurnya masih belum jelas bagi saya–, karena memang uji kompetensi bukan untuk belajar, tapi ajang unjuk kemampuan. Oleh karena itu, dengan terpaksa saya sempat bertanya untuk mensinkronkan sistem penilaian dalam uji kompetensi wartawan yang terbilang baru itu. Masalahnya, sejumlah pakar jurnalistik pun tidak satu kata misalnya saja dalam mendefinisikan berita, berita bernilai tinggi, juga terkait parameter feature, indepth news, investigasi reporting, artikel, tajuk dll, begitu pula kaitannya dengan kebijakan redaksi, kode etik jurnalistik dan hukum pers.
Terkait keraguan saya itu rupanya Dewan Pers sudah melakukan aturan main sehingga jika peserta uji kompetensi tidak puas dengan penilaian yang diberikan penguji mereka dapat banding, nantinya berkas ujiannya diperiksa lagi oleh tim banding dari Dewan Pers untuk diselesaikan menurut ketentuan yang berlaku. Direktur Eksekutif LPDS Priyambodo RH menyakinkan bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan para peserta karena acuannya secara umum saja, apa yang kita kerjakan setiap harinya di lapangan maupun di kantor.
Saya mencatat dalam buku panduan yang dikeluarkan Dewan Pers/LPDS bahwa untuk level utama mencakup: Menyunting karya jurnalistik wartawan, mengompilasi bahan liputan menjadi karya jurnalistik, Memublikasikan berita layak siar, memanfaatkan sarana kerja berteknologi informasi, merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan berkedalaman (indepth reporting), merencanakan, mengoordinasikan dan melakukan liputan investigasi (investigative reporting), menyusun peta berita untuk mengarahkan kebijakan redaksi, melakukan evaluasi pemberitaan, memiliki kemahiran manajerial redaksi, mengevaluasi seluruh kegiatan pemberitaan, membangun dan memelihara jejaring dan lobi, berpandangan jauh ke depan/visioner, dan memiliki jiwa kepemimpinan dll.
Untuk level muda meliputi: Mencari bahan liputan acara terjadwal, merencanakan/mengusulkan liputan pemberitaan, wawancara tatap muka/wawancara doorstop, menulis berita, menyunting berita sendiri, menyiapkan isi rubrik, rapat redaksi, membangun jejaring dll. Sedangkan level madya meliputi: Mengidentifikasi/koordinasi liputan pemberitaan, analisis bahan liputan acara terjadwal, merencanakan liputan investigasi, menulis berita-feature, menyunting sejumlah berita, merancang isi rubrik, rapat-rapat analisis pemberitaan, mengevaluasi hasil liputan pemberitaan, membangun dan memelihara jejaring serta lobi dll.
Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus di delapan tahapan uji kompetensi sekalipun hasil resminya akan dikirim langsung ke Pemred masing-masing media. Mungkin saya beruntung punya pengalaman mengajar sehingga tidak sulit untuk mendapatkan nilai kelulusan, minimal 70 (berkompeten). Sebagai pendidik saya tahu betul bagaimana cara menjawab soal-soal yang diujikan dengan benar, dan sebagai praktisi bisa memberikan contoh dengan baik sejalan dengan standar kompetisi wartawannya.
Tips dari saya, sebelum penguji memberi nilai berusahalah menunjukkan kemampuan dalam konteks mata pelajaran atau elemen yang diujikan. Tidak perlu berlebihan atau mencari-cari perhatian, jangan pula gugup, enjoy dan percaya diri saja, toh model uji kompetensi wartawan ini cukup fair dan positif untuk menjaga-meningkatkan harkat dan martabat citra profesi wartawan.
Justru itu, modal penting peserta uji kompetensi wartawan harus percaya diri, karena apa-apa yang diujikan semuanya masih dalam batas normal, malah mayoritas peserta uji kompetensi di akhir sesi ujian menyatakan soalnya mudah dan gampang, namun jangan juga anggap enteng.
Sekalipun masih ada kekurangan di sana-sini, misalnya terkait peserta terbatas, sosialisasi, objektivitas, idealisme, dan pendidikan tata moral belum begitu terakomodir, namun saya tak ragu mengajak rekan-rekan seprofesi: Demi kualitas dan profesionalitas wartawan, yuk, ikut uji kompetensi…! ***
Penulis adalah Wakil Penanggung Jawab Waspada, peserta uji kompetensi wartawan oleh Dewan Pers/LPDS di Medan.
Published in