Lembaga Pers Dr Soetomo 23 Tahun

 

Oleh Kristanto Hartadi

PEKAN lalu Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) merayakan hari jadi yang ke-23 dengan menggelar tiga rangkaian seminar pers. Dalam sejarahnya, LPDS didirikan untuk meningkatkan kapasitas para wartawan di Indonesia.

Gagasan itu dicetuskan pada Sidang Pleno ke-29 Dewan Pers di Denpasar, 17-19 Juli 1987. LPDS baru benar-benar terbentuk pada 23 Juli 1988. Sejak 2008, LPDS bernaung di bawah Yayasan Pendidikan Multimedia Adinegoro (YPMA).

Nama Dr Soetomo dipilih karena ia termasuk perintis gerakan kebangsaan Indonesia, yang pada 1908 bertindak sebagai mahasiswa kedokteran mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo.

Dia berkiprah di dunia pers dengan mendirikan jurnal Soeloeh Indonesia di Surabaya (1925), majalah mingguan Soeloeh Rakyat Indonesia, dan harian Soeara Oemoem (1930). Salah satu peninggalannya yang masih eksis sampai hari ini adalah majalah berbahasa Jawa Penyebar Semangat (1930).

Saya sendiri termasuk angkatan “prototype”, yakni pendidikan pertama oleh LPDS untuk calon wartawan harian Suara Pembaruan, berlangsung selama sembilan bulan (Maret-November 1989).

Saya beruntung dididik instruktur (almarhum) Amir Daud (pemimpin redaksi pertama harian Bisnis Indonesia), selain juga para wartawan senior, seperti Abdullah Alamudi, Sjahrir Wahab, Masmimar Mangiang, Ted Stannard, DH Assegaff,  pakar hukum pers Prof Oemar Senoadji (almarhum), dll.

LPDS punya sumbangsih memajukan dunia pers Indonesia, karena sampai hari ini tercatat ada 10.439 wartawan maupun masyarakat umum dari Sabang-Merauke yang pernah mengikuti berbagai program pendidikannya. Ke depan, lembaga sejenis LPDS ini harus semakin banyak demi meningkatkan kualitas para wartawan, sebagai upaya merawat demokrasi kita.

Merasa “Lonely”

Pada acara potong tumpeng 23 Juli lalu, tesirat ungkapan-ungkapan bahwa LPDS memang harus disokong oleh siapa pun yang ingin demokrasi berkembang sehat.

Direktur Eksekutif LPDS, “Bob” Priyambodo, kerap merasakan “lonely” dalam perjuangan membela kebebasan pers karena mereka yang aktif berjuang untuk itu, ternyata mereka-mereka juga yang “nongkrong” di LPDS, alias turun dari Sekretariat Dewan Pers di lantai 7 ke lantai 3 Gedung Dewan Pers.

Pakar komunikasi FISIP UI Prof Dr Bachtiar Aly, merasa surprise pada peringatan HUT LPDS kali ini, yang meski sederhana, digelar di hotel dan bukan di gedung tua di Jalan Kebon Sirih No 32 itu.

Ungkapan direktur pelaksana Yayasan Multimedia Adinegoro, Bambang Harymurti, bahwa sampai Desember 2011 uang untuk gaji dan THR staf LPDS “sudah aman”. Artinya, sebagai sebuah lembaga, LPDS tidaklah dilimpahi kemewahan.

Saya kira, kita butuh lebih banyak lagi lembaga sejenis di berbagai tempat di Indonesia, bahkan kalau bisa dengan kemampuan mendidik para wartawan investigasi.

Lembaga pendidikan pers merupakan kebutuhan, karena perkembangan dunia media massa pada hari ini (termasuk menjamurnya media digital dan media sosial) harus diikuti dengan pendidikan yang memadai dan baik bagi para pengelola dan awak media dari sisi etika dan hukum, maupun keterampilan profesional.

Apalagi, tidak semua perusahaan media di Indonesia mampu menyelenggarakan in house training. Jangan sampai suara-suara bahwa “pers sudah kebablasan”, atau “kemerdekaan pers harus dibatasi” akan semakin keras terdengar.

Menurut Committee to Protect Journalists (CPJ), Indonesia masuk dalam urutan kelima negara-negara yang tidak aman untuk wartawan. Tahun 2010 lalu ada lima wartawan tewas dalam tugas, empat karena dibunuh terkait upaya mereka mengungkap kasus korupsi atau pun organized crime, satu lagi tewas terkena awan panas dalam letusan Gunung Merapi.

Fakta itu menunjukkan, selain wartawan harus ditingkatkan kapasitasnya agar semakin trampil, di sisi lain masyarakat juga harus dididik untuk menghargai dan menghormati pekerjaan wartawan dalam menjalankan fungsi kontrol sosial. Masyarakat harus diajarkan untuk menerima bahwa pers (media) memang merupakan pilar kesekian dalam demokrasi kita.

Manfaat pers sangat terasa ketika DPR makin tak bermutu, ketika para penegak hukum kita menderita bobrok moral, ketika pemerintah dan birokrasi demikian korup dan tidak efektif, atau ketika para mahasiswa sudah letih berunjuk rasa. Dalam situasi demikian, sandaran yang tersisa hanyalah pers. Pers membutuhkan institusi-institusi sumber seperti LPDS.*

 

Kristanto Hartadi adalah wartawan senior Harian Sore Sinar Harapan

Sumber: www.sinarharapan.co.id / 26.07.2011 12:40

http://www.sinarharapan.co.id/content/read/lembaga-pers-dr-sutomo-23-tahun/

 

Published in Kajian Media