Tanya jawab MDK IV di BRG

Jakarta, ClimateReporter – Dalam kunjungan LPDS ke Badan Restorasi Gambut 23 Agustus 2016, para peserta Lokakarya Meliput Daerah Ketiga Angkatan Keempat (MDK IV) mendapat penjelasan tentang program restorasi gambut. Menyusul kebakaran gambut besar-besaran di Sumatera dan Kalimantan 2015, BRG melakukan restorasi di tujuh provinsi: Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.

 

Wartawan dari Sumatera yang dilanda kebakaran gambut dan jurnalis dari bagian timur Indonesia mengadakan tanya jawab berikut dengan Sekretaris BRG Hartono Prawiratmadja dan Deputi III Myrna Safitri. Bidang tugas Myrna mencakup edukasi, sosialisasi, pertisipasi dan kemitraan.

Tanya Jawab

1. Ferry Susanto Arsyad, inilampung.com, Bandarlampung Lampung juga punya daerah gambut sepertit kawasan Masuji dan Tulang Bawang di perbatasan dengan Sumatera Selatan. Kawasan ini sudah banyak digarap perusahaan-perusahaan sawit dan berdampak ke perekonomian masyarakat. Apa yang dilakukan BRG terhadap kawasan-kawasan seperti ini?

2. Jogi Sirait, Gatra, Jambi BRG blm menyinggung bagaimana ganti upaya bagi masyarakat hilang ladang terbakar. Apa tawaran BRG sebagai pengganti supaya masyarakat tidak membakar? Kedua mengenai program membangun sumur bor. Beberapa pakar berpendapat membangun sumur bor secara masif diduga mempunyai dampak lingkungan. Selain merusak permukaan tanah juga merusak siklus hidrologi. Apakah BRG sudah memperkirakan dampak dari masifnya sumur bor yang akan dibuat?

3. Mismaya, Ve Channel TV, Makassar Apa ada dampaknya dari banyaknya sumur bor dilakukan di sana? Sawit menyedot banyak air. Apa bisa dibuat pelarangan membuka lahan?

4. Christopel Paino, Mongabay Indonesia, Gorontalo Ibu Myrna mengatakan tanggung jawab restorasi tidak hanya BRG tapi juga pemilik pemegang konsesi. Sebanyak 531 perusahaan beroperasi di lahan gambut yang akan direstorasi. Apakah ada regulasi yang mengatur pemilik/pemegang konsesi ini harus melaksanakan wajib restorasi. Kedua, soal rencana tata ruang wilayah, RTRW. Ada satu lahan difungsikan untuk restorasi. Tapi fakta lapangan menunjuk alih fungsi untuk perkebunan. Bagaimana mengontrol, mengatur kebijakan2 di daerah?

5. Jeane Rondonuwu, Sulutdaily.com, Manado BRG punya target restorasi 2 juta hektare gambut dalam kurun waktu 2016-2020. Sebanyak 30 persen atau 600.000 ha digarap tahun 2016. Siapa melakukan ini? Provinsi mana belum mau kerjasama dengan BRG? Perusahaan mana tak mau melakukan restorasi?

Hartono, sekretaris BRG Pertama, dari Lampung. Regulasi mengenai pengelolaan lahan gambut ini berlaku umum secara nasional. Jadi apa yang dilakukan di 7 provinsi wilayah kerjanya BRG juga dilakukan restorasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Jadi di KLHK ada Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL). Ditjen ini menangani mirip dengan BRG tetapi di luar 7 provinsi garapan BRG. Seperti dalam keterangan Bu Myrna pada paparan awal, seluruh kawasan ekosistem gambut ini akan dipetakan ulang, baik yang sudah dibuka maupun yang belum dibuka. Baik yang sudah menjadi kebun sawit atau jadi perkampungannya akan dipetakan lagi menurut ketebalan. Jadi nanti akan ada penataan dan penetapan fungsi. Kawasan yang menurut hasil pemetaan survei ketebalan itu di atas 3 meter , dia akan ditetapkan sebagai gambut lindung. Perusahaan itu hrs mengikuti panduan tata kelola air.

Terkait dengan pertanyaan apa ada aturannya. Ada. Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut mengatur Itu. Sekarang sedang dibuat aturan lebih rinci mengenai tata kelola airnya. Ini termasuk bagaimana mempertahankan muka air tanah dan sanksi yang akan dikenakan bila perusahaan tidak menepati itu. Ada juga penilaian tentang tata kelola kebun atau HTI yg mengikuti kaedah-kaedah pengelolaan lingkungan yang g baik. Regulasi juga berlaku di Lampung. Nanti bukan BRG yang menegakkan tmelainkan Ditjen PPKL dan dinas terkait di provinsi.

Hal kompensasi mengenai diadopsinya praktek pengelolaan lahan tanpa bakar. Pemikiran itu sudah lama di BRG. Pendeksatan BRG ialah di desa. Kawasan gambut yang terbakar itu dipetakan, desa mana yang mampu wilayah yang terbakar itu ditetapkan jadi desa pemangku. Dari itu nanti akan difasilitasi. BRG dalam APBN 2017 juga mengembangkan sistem insentif berupa unit kelola alternatif penghidupan. Terserah desa yang bersangkutan mau pilih apa. BRG menawarkan tapi tidak menilai. Tetapi intinya restorasi itu bukan untuk menyengsarakan. Restorasi itu untuk bagaimana masyarakat bisa hidup lebih baik.

Kerusakan gambut bisa murni masalah teknis, bisa juga masalah keadilan. Salah satu intervensi restorasi adalah penanganan konflik. Penanganan konflik karena konflik tenurial (hak kuasa tanah). Intervensi yang dikembangkan adalah mendorong kehutanan sosial. Dengan kepemilikan komunal dengan komoditas yg dikehendaki masyarakat. Itu bisa menjadi salah satu alternatif.

Mengenai sumur bor, ada peta yang menunjukkan daerah tiap tahun terbakar. Ada daerah dari pantauan citra satelit mulai dari tahun 2000 terbakar terus. Di sini BRG akan buat sumur bor. Daerah yang kebakaran biasanya tidak ada air. Air didatangkan dari kota. Untuk bolak balik perlu 4 jam hanya untuk 5.000 liter. Kalau ada sumur bor di situ langsung mengalir.

Mengenai tanggungjawab restorasi perusahaan, dari 2juta hektare itu 1,3 juta di antaranya itu di area konsesi di HTI dan di kebun sawit. Kalau di konsesi tidak ada APBN di situ. Tak boleh. Itu tanggung jawab pemegang konsesi. BRG akan mengkomunikasikan kepada para pemegang konsesi wilayah kerjanya jadi target restorasi. Jadi kalau Rp600.000 kecil (sebagai restorasi tanggung jawab BRG). Dana APBN yang BRG ajukan untuk 2016 sekitar Rp76 milyar. Itu lebih banyak ke setting up institusi, pembuatan regulasi, koordinasi termasuk piloting (uji coba) sumur bor . Dana sumur bor dibangun masif dialokasikan 2017. Tahun 2017 dialokasikan Rp1,2 triliun APBN. Komitmen donor minimal dari Norwegia USD50 juta.

Myrna Saitri, Deputi III Edukasi SPK

BRG ibarat rumah sakit menerima dua juta orang. Masuk ICU. Perawatnya kurang. Alatnya kurang. BRG harus hadapi dan tidak mengabaikan. Itu tetap penting. Bicara kebakaran dan kriminalisasi masyarakat ini dilema. Kasusnya tidak hitam putih seperti itu. Ada pembakaran karena memang karena tradisi. Ini yang sedang dicari caranya menyelesaikan. BRG juga mengusahakan dialog dengan aparat penegak hukum. Supaya masyarakat hukum mengerti dengan praktik2 tradisi. BRG menyediakan insentif sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat. Termasuk juga sumur bor itu. Di Pulau Padang di Kabupaten Meranti, Riau, itu terbakar beberapa kali. BRG turunkan tim. Ternyata sumur bor tak pas. Pengalamannya dibor keluarnya gas. Jadi BRG tidak datang dengan policy sumur bor. Sumur bor hanya akan dibangun BRG di tempat-tempat yg memang tepat.

Mengenai konsesi itu clear. (Restorasi) itu tanggung jawab pemegang konsesi. Kalau sesuai PP 71, regulasinya ada. PP sedang direvisi.

Soal RTRW. Benar. Belum tentu pemda mau ubah RTRW. BRG bahas di tingkat nasional di mana pemerintah pusat membuat satu paket restorasi dalam mana pemda ikut di dalamnya. Nanti dengan ATR (Kementerian Agraria dan Tata Ruang) lagi diskusi.

Beberapa pemerintah daerah sudah menunjukkan keinginan baik. Ini diapresiasi karena mereka menyadari problem politik ekonominya. BRG mensupport pemda dan mendorong yang belum masuk lingkaran segera gabung.

 

Published in ClimateReporter