Karya Peserta Lomba Jurnalistik Banyu Urip 2017 – “Bojonegoro dan Label Tujuh Situs Warisan Geologi”

Bojonegoro dan Label Tujuh Situs Warisan Geologi

Sabtu, 25 November 2017 | https://beritagar.id/artikel/laporan-khas/bojonegoro-dan-label-tujuh-situs-warisan-geologi

Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, berharap peningkatan PAD melalui pemanfaatan situs warisan geologi sebagai kawasan destinasi wisatawan.

Kobaran api menyembul dari tumpukan batu berwarna putih. Tak pernah sekalipun padam walau terguyur hujan deras. Warga setempat menyebutnya Kayangan Api atau Api Abadi.

Secara ilmiah, Kayangan Api merupakan fenomena geologi alam berupa keluarnya gas dari dalam tanah yang tersulut api sehingga terbakar.

Menurut cerita yang berkembang, Kayangan Api konon jadi tempat Empu Supagati alias Mbah Pandhe membuat keris pusaka Jangkung Luk Telu Blong Pok Gonjo. Majapahit kemudian mengangkatnya jadi empu kerajaan dengan gelar Ki Kriya Kusuma.

“Di sini dahulu petilasan Mpu Supagati,” ujar Mbah Djuli, juru kunci Kayangan Api, saat ditemui Beritagar.id, dua pekan silam.

Api Abadi terletak di tengah hutan, tepatnya di Desa Sendangharjo, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro, Jawa Timur. Empat candi kelir berpengawal patung Dwarapala tersebar di sekitar sumber api.

Sekitar 80 meter ke arah barat sumber api, ada kolam bernama Sumber Air Blekutuk yang mengeluarkan bau belerang yang menyengat hidung.

Walau terlihat bergelembung ibarat air mendidih, air di dalam kolam ini justru tidak panas.

Perpaduan antara fenomena alam yang unik dan folklor tadi membuat Kayangan Api jadi primadona wisatawan.

Tambah lagi kawasan yang berjarak sekitar 23 kilometer arah barat daya Kota Bojonegoro itu kerap menjadi tempat acara penting. Misalnya pengambilan api untuk Pekan Olah Raga Nasional ke XV tahun 2000 di Jawa Timur.

Selain itu, hampir setiap penyelenggaraan Hari Jadi Bojonegoro (20 Oktober) selalu ada arak-arakan dari Kayangan Api menuju Pendopo Kabupaten.

Menyitir wisatabojonegoro.com, jumlah wisatawan domestik (wisdom) yang berkunjung ke Kayangan Api pada 2016 mencapai 56.915 orang.

Angka tersebut meningkat dari 22.588 wisatawan (2014) dan 34.729 (2015). Saat libur Lebaran 2017, kurun 26 Juni-2 Juli, Kayangan Api dikunjungi 12.601 wisdom.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro lantas berupaya menjadikan Kayangan Api sebagai Kawasan Cagar Alam Geologi (KCAG) tingkat nasional.

Ikut pula diusulkan sumur tua Wonocolo. Disebut sumur tua karena di area ini terdapat lebih dari 700 sumur minyak mentah peninggalan pemerintah kolonial Belanda.

Sumur tua Wonocolo menempati dataran setinggi 400 meter dari permukaan air laut di Kecamatan Kedewan, Kabupaten Bojonegoro.

Ada tulisan “Teksas Wonocolo” berukuran raksasa yang membuat lokasi ini gampang diketahui wisatawan. Teksas merupakan akronim dari tekat selalu aman dan sejahtera.

Sepanjang kiri-kanan perbukitan hutan di Desa Wonocolo, jamak dijumpai aktivitas penduduk sekitar yang menambang minyak dengan cara tradisional dan semi modern.

Cara tradisional, misalnya sumur minyak dengan kedalaman rata-rata di bawah 1500 meter, diambil dengan menggunakan pipa besi panjang. Pipa lantas dimasukkan ke sumur dengan kawat seling dan ditarik secara manual oleh lebih dari 20 orang.

Ada juga yang menggunakan mesin truk tak terpakai yang dihidupkan untuk menarik kawat seling di kumparan pelek ban mobil bekas.

“Pemandangan seperti itu bisa dinikmati pengunjung,” ujar Camat Kedewan Moh. Arifin dalam acara diskusi soal sumur tua di Kantor Pemkab Bojonegoro, Selasa (21/11/2017).

Di Desa Wonocolo juga telah dibangun rumah singgah yang berfungsi sebagai edukasi wisata pelbagai hal tentang minyak.

Rumah singgah yang resmi dibuka sejak pertengahan 2016 ini berisi aneka informasi dalam bentuk dokumentasi foto, maket, dan fosil-fosil.

Selain itu disediakan juga kamar bagi wisatawan yang ingin menginap dengan tarif 100 ribu rupiah per malam.

Sumur tua Wonocolo berada di kawasan hutan milik Kesatuan Pemangkuan Hutan Cepu. Kendali pengelolaannya berada di bawah PT Pertamina EP Asset 4 Cepu.

Dr. Djatmiko Setiawan, peneliti dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, menyebut sumur tua Wonocolo banyak mengundang keunikan.

Secara teori, kata Dr. Djatmiko, seharusnya cadangan minyak di tempat tersebut sudah sangat menipis atau ludes karena Belanda telah mengekploitasinya sejak 1926. Tetapi kenyataannya minyak di perut bumi Wonocolo masih terus ada. “Minyaknya enggak habis-habis,” ujar peneliti bidang ahli gempa tektonik ini.

Mengantongi sertifikat Geopark Nasional

Sepanjang proses pengusulan sebagai KCAG tingkat nasional, Pemkab Bojonegoro dan Pemprov Jawa Timur menggandeng para ahli dari berbagai bidang.

Ada tim Universitas Pembangunan Nasional Veteran (UPNV) Yogyakarta yang bekerja mendampingi selama dua tahun, juga dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta. Para peneliti sebagian besar sarjana geologi, minyak, dan antropologi.

Gubernur Jawa Timur Dr. H. Soekarwo telah mengirim surat usulan penetapan KCAG ke Menteri ESDM Ignasius Jonan, tertanggal 13 Oktober 2017.

Surat itu mengacu lampiran usulan Bupati Bojonegoro Drs. Suyoto M.Si yang berisi usulan penetapan KCAG di daerahnya pada 27 April 2017.

“Sudah kita usulkan beberapa bulan lalu,” ujar Kang Yoto, sapaan akrab Suyoto, saat acara Diskusi Kelompok Terarah di Gedung Angling Dharma, Pemkab Bojonegoro, Selasa (22/11).

Surat yang sama juga ditembuskan ke Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Agar lolos verifikasi, Pemkab Bojonegoro bersama UPNV Yogyakarta dan Badan Geologi Kementerian ESDM melakukan kajian bersama tentang KCAG.

Survei awal di lapangan menemukan 21 situs. Namun hasil verifikasi memutuskan hanya tujuh yang lolos dan layak masuk kategori KCAG tingkat nasional.

Tujuh situs tersebut, selain Kayangan Api dan sumur tua Wonocolo, adalah struktur lipatan lapisan batuan sedimen (antiklin) Kawengan bagian puncak, bagian sayap kanan, dan sebagian sayap kiri –semuanya berada di Kecamatan Kedewan, situs Dung Lantung di Desa Drenges, Kecamatan Sugihwaras, dan lokasi penemuan fosil gigi hiu purba di Desa Jono, Kecamatan Temayang.

Lalu bagaimana dengan 14 situs lain yang tidak lolos verifikasi? Pemkab Bojonegoro tetap mengupayakannya sebagai kawasan wisata yang layak dikunjungi dengan menerbitkan Surat Keputusan Bupati Bojonegoro.

Isinya menetapkan 14 situs itu sebagai kawasan geologi yang memendam banyak sejarah. “Warisan geologi itu sumbangan termahal ilmu pengetahuan,” tandas Kang Yoto.

Dilansir Antara Jatim (24/11), tujuh situs warisan geologi di Bojonegoro yang lolos verifikasi telah menerima sertifikat sebagai Geopark Nasional hamparan minyak bumi.

Ini persis yang diprediksikan Ketua Tim Verifikasi Geopark Petroleum di Bojonegoro dari Badan Geologi Bandung, Ir. Andiani, dalam acara diskusi warisan geologi di Kantor Pemkab Bojonegoro (22/11).

Selain Bojonegoro, daerah lain yang menerima sertifikat geopark nasional adalah Gunung Tambora (di Nusa Tenggara Barat), Raja Ampat (Papua Barat), Karst Maros (Sulawesi Selatan), dan Pulau Belitung (Kepulauan Bangka Belitung).

Pemberian sertifikat tersebut membuat Pemkab Bojonegoro harus mampu melakukan evaluasi terhadap tata ruang dan wilayah dalam jangka waktu 15-20 tahun lamanya.

Harapan Andiani, kawasan cagar alam di Bojonegoro diusulkan ke tingkat dunia melalui UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai situs geologi internasional. “Jika diakui, ini prestasi membanggakan,” imbuhnya.

Penetapan tujuh situs sebagai KCAG bisa menjadi pintu masuk berkembangnya pariwisata di Kabupaten Bojonegoro. Nilai jualnya bukan semata kabupaten penghasil minyak dan gas, tetapi juga sejarah yang melatarbelakanginya.

Misalnya berbagai temuan yang mengindikasikan bahwa 30 juta tahun silam daratan Bojonegoro adalah laut.

Faktor penguatnya adalah penemuan geosite gigi hiu di Desa Jono, juga fosil kuda laut di sekitar Desa Wotan Ngare, Kalitidu.

Ada juga tulang paus purba ditemukan di sungai kecil di Desa Buntalan, Kecamatan Temayang, pada bulan Agustus 2012 silam.

Dengan warisan geologi yang potensial tadi, bukan tidak mungkin mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Bojonegoro.

Data di Pemerintah Kabupaten Bojonegoro menyebutkan, jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor pariwisata tahun 2015 sebesar Rp378 juta. Angka itu meningkat jadi Rp1,5 miliar setahun kemudian.

Kawasan wisata yang jadi langganan kunjungan, seperti obyek Kayangan Api, menyumbang pemasukan Rp408 juta, Wahana Wisata Dander Park memberikan Rp815 juta.

Sementara kunjungan wisatawan ke Tirtawana Dander menghasilkan lebih dari Rp105 juta. Sisanya berasal dari obyek-obyek wisata lain yang belum dikelola optimal.

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bojonegoro berjanji akan melakukan koordinasi dengan berbagai lembaga dan instansi, semisal dengan pemerintah daerah penerima sertifikat geoheritage.

Tujuannya untuk meningkatkan sarana dan prasarana di kawasan tersebut agar wisatawan semakin betah dan sering datang berkunjung.

Juga sedang dirancang kelompok pemandu wisata yang paham tentang minyak, gas, dan peninggalan geologi khusus untuk mendampingi para wisatawan.

Lembaga Masyarakat Desa Hutan –sebuah lembaga mitra Perhutani– serta beberapa perusahaan minyak dan gas juga turut dirangkul. Seperti kontraktor yang mengelola Blok Cepu.

“Kita berharap PAD meningkat dari sektor pariwisata geoheritage,” ujar Kepala Bidang Kelembagaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bojonegoro Dyah Enggarini Mukti (22/11).

Ir. Hanang Samudra, Ketua Tim Verifikasi Geoheritage dari Badan Geologi Bandung, menyebut Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta patut jadi contoh soal pengelolaan kawasan peninggalan geologi.

Pemprov Yogyakarta yang menerima sertifikat KCAG pada 2014 menganggarkan tiap situs dari sembilan yang terpilih biaya operasional minimal sebesar Rp1,5 miliar. Hasilnya PAD dari sektor pariwisata melonjak lebih dari Rp30 miliar.

Jika Bojonegoro berhasil mengoptimalisasi bidang pariwisata, khususnya bidang warisan geologi, bisa jadi kabupaten ini tidak lagi hanya mengandalkan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas.

Selama ini pendapatan dari migas menjadi tulang punggung Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang mencapai Rp3,7 triliun. Sekitar Rp1,4 triliun berasal dari DBH Migas.

Maka, lanjut Hanang Samudra, potensi minyak dan gas harus dikelola dengan baik. Tidak hanya mengeksploitasi migas, tetapi juga mandiri dengan mengoptimalkan warisan geologi ke generasi selanjutnya. “Bojonegoro harus mandiri,” pungkasnya.

Published in Inside Mining